(REFLEKSI TERHADAP
KEJAHATAN ISIS)
Oleh:
Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur
Firman
Allah Subhana Wa Ta’ala:
فَلَا تُطِعِ ٱلۡڪَـٰفِرِينَ
وَجَـٰهِدۡهُم بِهِۦ جِهَادً۬ا ڪَبِيرً۬ا
“Maka janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an
dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqan [25] ayat 52)
Kata
jihad berasal dari kata “jahdun” yang
berarti usaha, atau “juhdun” yang
berarti kekuatan.
Menurut
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, secara
bahasa jihad berarti mencurahkan segenap kekuatan dengan rasa takut untuk
membela Allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan permusuhan orang yang
memusuhi.
Menurut
Ibnu Taimiyah, jihad itu hakekatnya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk
menghasilkan sesuatu yang diridhai Allah
berupa amal shalih, keimanan dan menolak sesuatu yang dimurkai Allah berupa
kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.
Kamil
Salamah menyimpulkan bahwa jihad lebih luas cakupannya dari pada aktivitas
perang. Ia meliputi pengertian perang, membelanjakan harta, segala upaya dalam
rangka mendukung agama Allah, berjuang melawan hawa nafsu dan menghadapi setan.
Kata
jihad dalam bentuk fiil maupun isim disebut 41 kali dalam Al-Qur’an,
sebagian tidak berhubungan dengan perang dan sebagian berhubungan dengan
perang.
Ayat
yang sedang kita renungkan tersebut adalah sebagian ayat jihad yang tidak
berhubungan dengan perang.
Ibnu
Qayim ketika menjelaskan Q.S. Al-Furqan [25] ayat 52, menyatakan, “Inilah surah
Makiyah dan jihad di dalamnya adalah jihad tabligh
(menyampaikan keterangan) dan jihad hujjah
(menyampaikan bukti kebenaran Islam).”
Jelaslah
bahwa arti jihad di sini bukan berarti perang, karena perang baru diizinkan
setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam hijrah ke Madinah.
Pada
ayat ini Allah memerintahkan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam agar tidak tunduk kepada orang kafir dan terus berjihad
dengan bersenjatakan Al-Qur’an dengan jihad yang besar, maksudnya jihad yang
tidak mengenal lelah.
Berjihad
dengan Al-Qur’an berarti menegakkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan,
dengan senjata yang sangat kuat. Edward Gibbon (1737-1794) seorang orientalis
Inggris berkata, “Al-Qur’an adalah sebuah kitab agama, kitab kemajuan
keduniaan, persaudaraan dan perundangan. Al-Qur’an mengandung isi yang lengkap
meliputi urusan ibadah, akidah, akhlak hingga pekerjaan sehari-hari dan dalam
urusan rohani maupun jasmani.”
Jihad
yang bukan bermakna perang juga terdapat di ayat lain dalam Al-Qur’an, di
antaranya:
وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ
فِينَا لَنَہۡدِيَنَّہُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut [29] ayat 69)
Al-Maraghi
ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, “Jihad pada ayat ini bukan berarti
memerangi orang kafir saja, tetapi jihad berarti menolong agama, menolak ahli bathil, melawan orang dzalim dan
yang besar adalah amar makruf nahi
mungkar dan yang paling besar adalah memaksa diri sendiri untuk mentaati
Allah.”
Pada
ayat lain Allah Subhana Wa Ta’ala
berfirman:
وَمَن جَـٰهَدَ فَإِنَّمَا
يُجَـٰهِدُ لِنَفۡسِهِۦۤۚ
“Dan barangsiapa yang
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.” (QS. Al-Ankabuut [29] ayat 6)
Kata
jihad pada ayat ini mengandung pengertian kerja, mengeluarkan seluruh kemampuan
untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Oleh
karena itu, salah besar sebagian kaum orientalis pembenci Islam yang mengatakan
bahwa Islam itu disiarkan dengan pedang, sebagaimana yang dikatakan Mac Donald
D.B. (1863-1942) bahwa penyebaran Islam dengan pedang adalah kewajiban kolektif
bagi semua Muslimin.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga
mengajarkan bahwa “jihad” itu tidak hanya berperang melawan orang kafir atau
musyrik. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dengan rijal shahih dari Kaab bin Ujrah berkata: Seorang laki-laki lewat
di hadapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Para sahabat melihat kekuatan dan ketangkasan orang itu, lalu
mereka berkata, “Alangkah baiknya kalau orang ini berperang di jalan Allah.”
Maka
beliau bersabda, “Jika ia bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil maka dia
di jalan Allah, dan jika dia bekerja untuk kedua orang tuanya yang telah lanjut
usianya maka dia di jalan Allah, dan jika dia bekerja untuk dirinya agar
terpelihara kehormatannya maka dia di jalan Allah, dan jika dia keluar bekerja
karena pamer dan bermegah diri maka dia di jalan sesat.”
Jadi
jihad tidak selamanya tepat jika diartikan sebatas perang walaupun jihad dapat
diartikan perang. Sebagaimana firman Allah:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] ayat 41)
Kata
jihad pada ayat ini artinya adalah perang. Hanya, jihad yang berarti perang itu
bukan untuk memaksa orang masuk Islam dan bukan pula untuk melebarkan daerah
kekuasaan Islam, akan tetapi semata-mata mempertahankan diri dan melindungi
umat Islam dari serangan musuh. Sebagaimana firman Allah:
أُذِنَ لِلَّذِينَ
يُقَـٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ
لَقَدِيرٌ
ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَـٰرِهِم
بِغَيۡرِ حَقٍّ إِلَّآ أَن يَقُولُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُۗ وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ
ٱلنَّاسَ بَعۡضَہُم بِبَعۡضٍ۬ لَّهُدِّمَتۡ صَوَٲمِعُ وَبِيَعٌ۬ وَصَلَوَٲتٌ۬ وَمَسَـٰجِدُ
يُذۡڪَرُ فِيہَا ٱسۡمُ ٱللَّهِ ڪَثِيرً۬اۗ وَلَيَنصُرَنَّ ٱللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۥۤۗ
إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ
ٱلَّذِينَ إِن مَّكَّنَّـٰهُمۡ
فِى ٱلۡأَرۡضِ أَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّڪَوٰةَ وَأَمَرُواْ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَنَهَوۡاْ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۗ وَلِلَّهِ عَـٰقِبَةُ ٱلۡأُمُورِ
“Telah diizinkan
(berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan
yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah
Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di
dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang
yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali
segala urusan.” (QS. Al-Hajj [22] ayat 39-41).
Dalam
rangkaian ayat ini –Wallahu A’lam-
Allah Subhana Wa Ta’ala menjelaskan
tentang alasan kaum Muslimin diizinkan berperang.
Pertama: Lantaran mereka teraniaya, diserang lebih dahulu dan
diusir dari tempat tinggalnya, meninggalkan harta bendanya semata-mata karena
agama dan keyakinannya.
Kedua: Menjaga semua tempat ibadah yang di dalamnya disebut
nama Allah, seperti biara, gereja orang Kristen, rumah ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid. Dengan ini jelas sekali bahwa dalam Islam kebebasan beragama
yang merupakan hak pribadi dijamin dan dilindungi. Di samping itu umat Islam
berkewajiban menjaga tempat-tempat ibadah agama lain dari segala ancaman dan
gangguan.
Ketiga: Mewujudkan keamanan, ketentraman,ketertiban dan
kemantapan beragama sehingga orang yang beribadah tidak terganggu. Bagi umat
Islam, mereka dapat menunaikan zakat yang dapat memperbaiki masalah sosial dan
ekonomi.
Kemudian
mereka dapat memerintahkan kebaikan yang berguna bagi seluruh umat manusia dan
melarang kemungkaran yang mencakup segala hal yang dapat mendatangkan kejahatan
dan bahaya bagi dirinya dan orang lain.
Tingkatan Jihad
Dalam
syariat Islam, jihad itu sendiri ada empat tingkatan yang harus dilakukan
secara berurutan. Tingkatan kedua tidak boleh dilakukan sebelum tingkatan
pertama dilakukan dan seterusnya. Adapun keempat tingkatan jihad tersebut
adalah:
1. Jihad melawan hawa nafsu
Jihad
yang pertama ini wajib dilakukan oleh setiap Muslim, sebagaimana Firman Allah:
وَٱلَّذِينَ جَـٰهَدُواْ
فِينَا لَنَہۡدِيَنَّہُمۡ سُبُلَنَاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.” (QS. Al-Ankabuut [29] ayat 69)
Ibnu Athiyyah
menjelaskan bahwa ayat ini turun di Makkah. Jadi ayat ini diturunkan sebelum
turunya perintah melawan orang kafir yang memerangi umat Islam. Oleh sebab itu,
ayat ini mengandung pengecualian bahwa untuk berjihad dalam bentuk berperang
membela agama Allah dan menuntut kesuciannya, orang harus lebih dahulu
berperang terhadap dirinya sendiri, yaitu melawan hawa nafsunya untuk berbakti
kepada Allah.
Jihad (berperang)
terhadap diri sendiri itu terdiri dari empat (4) tingkatan. Pertama, rajin
mempelajari agama yang benar berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kedua,
berusaha sekuat tenaga menjalankan kebenaran yang sudah dipelajarinya. Ketiga,
mendakwahkan kebenaran kepada orang yang belum mengetahuinya. Dan keempat,
dalam mendakwahkan kebenaran itu harus mampu menahan berbagai penderitaan dan
harus berani menghadapi tantangan yang dilakukan oleh orang yang tidak mau
menerima kebenaran itu.
2. Jihad melawan setan
2. Jihad melawan setan
Allah berfirman:
إِنَّ ٱلشَّيۡطَـٰنَ لَكُمۡ
عَدُوٌّ۬ فَٱتَّخِذُوهُ عَدُوًّاۚ إِنَّمَا يَدۡعُواْ حِزۡبَهُ ۥ
لِيَكُونُواْ مِنۡ أَصۡحَـٰبِ ٱلسَّعِيرِ
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (QS. Fathir [35] ayat 6)
Secara bahasa, setan
dalam bahasa Ibrani “ha-satan”,
berarti “sang penentang”, sedangkan dalam bahasa Arab “syaithan” berarti “sesat atau jauh”.
Semua makhluk Allah
yang tidak shalih, yang menggoda dan mengajak kepada kemaksiatan, dinamai
setan, baik dari jenis jin maupun manusia.
Pada
ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa setan adalah musuh umat Islam dan Allah
memerintahkan agar umat Islam memusuhinya, maka wajiblah umat Islam
memeranginya.
Jihad
melawan setan itu ada dua tingkatan: pertama,
memerangi segala tipu muslihat yang
menimbulkan keragu-raguan dalam kepercayaan (iman). Kedua, memerangi segala godaan yang mendorong manusia melanggar
ketentuan Allah.
3. Jihad melawan kezhaliman, kejahatan dan bid’ah
3. Jihad melawan kezhaliman, kejahatan dan bid’ah
Jihad
tingkatan ketiga ini lebih ditekankan kepada intern umat Islam. Dalam sebuah
hadits disebutkan:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ
جَائِرٍ
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim disebutkan bahwa apabila seorang
Muslim melihat seseorang mengatakan dan mengerjakan yang tidak diperintahkan
Allah dan Rasul-Nya, maka dia wajib berjihad dengan tangannya, jika tidak mampu
dia wajib berjihad dengan lisannya, jika tidak mampu dia wajib berjihad dengan
hatinya. Orang yang berjihad dengan hati ini adalah termasuk orang yang
beriman. Jika dengan hatinya dia tidak mampu, maka sama saja dia tidak memiliki
iman sama sekali.
4. Jihad
terhadap orang kafir
Jihad
terhadap orang kafir ini wajib dikerjakan setelah umat Islam mengerjakan ketiga
jihad di atas dengan sempurna.
Jihad
terhadap orang kafir tidak mesti dilakukan dengan memerangi mereka secara
fisik, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
جَاهِدُوْا الْمُشْرِكِيْنَ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَأَلْسِنَتِكُمْ.
“Berjihadlah melawan orang-orang musyrikin dengan harta,
jiwa, dan lisan kalian.” (Shahih: HR. Ahmad (III/124), an-Nasa-i (VI/7), dan
al-Hakim (II/81), dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu)
Memerangi
orang kafir tidak diperbolehkan sebelum dilakukan dakwah (mengajak) mereka
untuk mengikuti ajaran Islam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Janganlah engkau perangi suatu kaum sampai engkau
mendakwahkan mereka (untuk masuk ke dalam Islam).” (HR. Ahmad. Lihat Silsilah
al-Ahaadiits as-Shahiihah no. 2641).
Disebutkan juga dalam sebuah hadits:
لَا تُقَاتِلْ قَوْمًا حَتَّى تَدْعُوَهُمْ.
“Tidaklah sekali-kali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerangi mereka
sehingga beliau berdakwah kepada mereka.” (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
Oleh
karena itu,sangat tepat apa yang dikatakan oleh Syekh Thanthawy Al-Jauhari,
“Orang-orang yang kurang mengerti menganggap bahwa jihad itu tidak lain kecuali
memerangi orang kafir. Sekali-kali tidak! Para ulama yang benar-benar memahami
agama telah menetapkan, jihad itu tidak terbatas hanya memerangi musuh, tetapi
mengandung arti dan tujuan yang sangat luas. Memajukan pertukangan, kerajian,
pertanian, membangun negeri, membina akhlak dan meninggikan martabat umat, itu
semuanya termasuk jihad yang tidak kurang pentingnya dan mamfaatnya dibanding
orang yang mengangkat senjata melawan musuh.” Wallahu A’lam.
(Sumber: MirajNews.com/id)
0 komentar:
Posting Komentar